Sabtu, 26 Maret 2011

Jika Ada Cara Untuk Menahan Diri, Mengapa Harus Marah?

Oleh : Zulia Ilmawati , S.Psi.

baitijannati –Dalam pandangan Islam, anak adalah anugerah yang diberikan Allah pada para orang tuanya. Kehadiran anak disebut sebagai berita baik (Maryam:7), hiburan karena mengenakan pandangan mata (Al-Furqan:74), dan perhiasan hidup di dunia (Al-Kahfi:46). Anak juga sebagai bukti kebesaran dan kasih sayang Allah, pelanjut, penerus dan pewaris orang tua, tetapi juga sekaligus ujian (At-Taghabun:15). Sebagai amanah, semua yang dilakukan orang tua terhadap anaknya (bagaimana merawat, membesarkan dan mendidiknya) akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Itulah menjadi penting memahami bagaimana mendidik anak, mendoakannya selalu, sekaligus senantiasa menanamkan kesabaran saat mendidik mereka.

Munculnya sikap penolakan anak balita terhadap lingkungan sosialnya adalah bagian dari proses perkembangan yang alamiah. Walau tak semua anak bersikap demikian. Gejala seperti ini biasanya dimulai saat anak berusia 2,5 tahun sampai 3 tahun. Anak-anak ini mulai tumbuh sebagai pribadi, keakuannya mulai muncul dan ia mulai ingin membedakan dirinya dengan orang lain. Pada saat itu pula, sikecil sudah mulai mencoba keinginannya sendiri. Hal itulah yang lantas dipersepsi oleh para orang tua bahwa anak sudah mulai sulit diatur dan dianggap tidak patuh lagi. Tahapan perkembangan yang ditandai oleh ’perilaku sulit’ ini Insya Allah akan mereda pada usia 4-5 tahun, seiring dengan perkembangan kemampuan berfikirnya dan aturan-aturan yang diterapkan orang tua.

Terkadang memang emosi kita akan ikut terpancing saat anak mulai sulit diatur. Dan tidak menutup kemungkinan akan muncul kemarahan. Tapi ingatlah, amarah seringkali akan mendekatkan diri kita kepada hal-hal yang berbahaya. Tanpa kita sadari anak terkadang akan menjadi sasaran kemarahan kita. Dan yang pasti, kemarahan tidak akan mendekatkan kita dengan surga. Rasulullah SAW bersabda:

“Dahulu ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah SAW dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepada saya sebuah ilmu yang bisa mendekatkan saya ke surga dan menjauhkan dari neraka.”Maka beliau bersabda,“Jangan tumpahkan kemarahanmu. Niscaya surga akan kau dapatkan.” (HR. Thobrani)

Lalu bagaimana agar bisa mengatur emosi kita? Rasulullah SAW pernah menasihatkan:

“Apabila salah seorang dari kalian marah dalam kondisi berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya belum juga hilang maka hendaknya dia berbaring.” (HR. Ahmad)

Langkah berikut Insya Allah akan membantu mengendalikan kemarahan kita:

Pertama, Bacalah ta’awudz ketika marah

Kedua, Ubahlah posisi ketika marah,

Ketiga, Diam atau tidak bicara, Berusahalah untuk menghindar dari situasi ”panas”, sambil terus beristighfar. Tarik nafas dalam-dalam sampai cukup merasa lega. Ketika kita diam, maka kita akan menjaga diri dari berbicara atau berbuat sesuatu yang menyakitkan anak yang kemudian akan disesali, dan sekaligus dapat menjadi model bagaimana mengontrol emosi diri sendiri bagi anak. Ambillah waktu sejenak untuk merencanakan dan merenungkan apa yang harus kita lakukan.

Keempat, Berwudhulah.

Kelima, Shalatlah. Jika keempat langkah tadi belum mampu meredakan amarah, ambillah langkah pamungkas, yaitu dengan melaksanakan shalat dua rakaat. Insya Allah dengan shalat amarah akan dapat diredakan, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW:

“Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya?Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu (amarah), maka hendaklah dia bersujud

(shalat)”.(H.R Tirmidzi).

0 komentar:

Posting Komentar